Kita punya arah yang berbeda. Seperti aku ingin mengajakmu
ke pantai, menikmati deburan ombak menerpa kaki. Tapi, kau justru memilih ke
tengah kota, berbaur dengan keramaian, menikmati malam di pinggir jalan. Kau
menyodorkan pilihan sepiring soto dan segelas es kelapa muda. Padahal kita
sebenarnya sama-sama ingin menikmati hari.
Aku belajar, jika dua insan manusia bisa bersatu bukan
karena hanya persamaan; perbedaan juga menjadi awal. Ketika dua pemikiran yang
tadinya berpisah jalan ditantang untuk menemukan muara yang sama.
Kamu juga mengatakan hal yang sama. Kamu tidak datang dari
sampan yang sama denganku, dari samudra yang sama denganku, tapi sama-sama
menuju daratan yang satu. Kita mengamininya.
Sampai suatu waktu, ternyata salah satu di antara kita, tak
lagi kuat mengarungi samudra. Salah satu di antara kita harus mengalah dan
pergi. Entah kamu atau aku, tapi salah satu di antara kita menyerah. Kita
saling menuduh. Perdebatan tiada henti dari malam hingga subuh.
Hal-hal yang dulu diamini bersama, kini rantas sudah.
Perjalanan kita selesai. Salah satu dari kita tidak akan mencapai daratan yang
dituju awalnya. Tersesat di lautan perasaan yang tiada ujungnya.
Perasaanmu
bermuara ke suatu tempat entah di mana berada.
Tidak ada lagi kata “Kita”. Tidak ada lagi momen-momen yang
dilewati bersama. Hanya aku dan kesendirianku, dan kamu dengan kekeluanmu. Kita
sepakat untuk tidak menujukan muara itu lagi. Dan aku hanya bisa
mengikhlaskanmu dari sudut kerinduanku
saja.
Aku mengucapkan selamat tinggal terlebih dulu. Maaf, aku
tidak akan menghapus memori tentangmu. Tidak pula akan mencarimu. Kamu sudah
tahu, daratan mana yang kutuju. Jika kau mau kembali, silakan datang bertamu ke
rumahku di daratan itu.
sajak yang sangat bagus.
BalasHapusseberapa besar seseorang berusaha melupakan masalalu? berhasilkah?
i think not. same like me.
tulisan yang bagus. still bloger